Selasa, 24 September 2013

Lotus (K-cerpen)



Dan pada akhirnya setiap orang akan menjadi buih yang kemudian hilang dan tak kembali. Jika cinta adalah bagian yang seperti itu. Mungkinkah kesetiaan masih akan di pertahankan. Meski orang berkata untuk apa setia? Jika bumi masih berputar dan kematian kemudian datang. Seseorang yang kau cintai kemudian memadu kasih dengan pria lain adalah hal yang lumrah dan biasa, untuk apa kata cinta sehidup semati ada?

Seperti bagian yang kadang tak bisa di elak. Kata-kata manusiawi yang kadang terlalu memanusiawikan diri, hingga lupa akan sebuah keharusan dan tanggung jawab. Jika memang seseorang tak bisa berjanji akan mencintai satu orang selama hidupnya, mungkin itu juga adalah bagian yang manusiawi?

Seperti terpaan angin yang tak akan pernah kembali ke sini. Ke dalam paru-paruku, yang menyentuh nadiku, menggores sentuhan manja di rahang hingga pipi, dengan ayunan helayan rambut kecoklatan yang hampir hilang, runtuh dari akar.

Kau tau? Mata ini jauh lebih sayu di banding langit senja. Bahkan warna bulan kalah pucat di bandingkan bibir serta wajahku. Aku tak tahu jika sebenarnya menunggu adalah hal yang sangat menyakitkan. Aku pernah berjanji pada diriku sendiri, agar aku bisa setia dan tak seperti yang lain. Meski jasad kekasih yang belum sempat meminangku dengan gaun putih dan taksedo yang ia pakai melengkapi janji indah dan sakral kami, namun hal itu hanya ingin kulakukan satu kali seumur hidup. Aku merasa jika bumi akan segera runtuh dan langit akan segera menimpaku.

Janji adalah janji. Jika semua itu bukan janji kita dari awal untuk saling bersama dan tak akan pernah berpisah atau mencintai yang lain, mungkin aku juga tidak akan begini.

Longlongan anjing yang bahkan sudah tak membuatku takut. Malam purnama dengan bulan sempurna mendesiskan udara malam yang bahkan sudah biasa dilahap kulit, daging, serta tulangku. Kini harus ku akui, mungkinkah aku ada di titik kegilaan yang sudah merenggut akal sehat yang menggentayangi jiwa bersih yang tercipta bahakan orang lain merasa iri akan semua sikap dan perasaanku?

Masih ku ingat, hari cerah senja itu..

Dua pasang tangan lembut dengan kuat menggenggam kedua tanganku yang hampir membeku di musim dingin. Senyum menggoda khas, dengan bibir tipis yang melengkung pink muda, matanya yang hampir hilang slalu membuatku gila. Pria di hadapanku. Entah jenis mahluk apa hingga aku pun tak mampu melepaskannya, tak bisa membuatnya terluka, meski dalam satu hari kami terus saja bertengkar. Namun, inilah keajaiban cinta. Kami kembali bersama dengan senyum yang tak kalah indah dengan bunga-bunga di musim semi.

“Apa kau mengerti mengapa aku tak ingin jika kita berpisah meski salah satu dari kita mati?” Sahut Lim An dengan suara yang serak.

“Aku tidak tahu.”

“Kita harus bersama karena aku tak punya siapa-siapa selain kamu, dan kamu juga tak punya orang lain lagi selain aku. Bukankah begitu?”

Tanggannya berpindah menuju bahu kecil yang bahkan akan merasa sakit saat tas penuh bergelayut di atasnya. Aku hanya bisa menggangguk karena benar begitu adanya. Kami sama-sama di buang, kami sama-sama tidak di inginkan. Meski orang berkata kami sama sekali tidak cocok. Aku yang tak cantik dengan dia yang tampan. Bagai melihat air dan api.

Kadang aku slalu memikirkan apa yang orang lain katakan padaku meski aku pun tak ingin mengingatnya. Namun bayang-bayang luka masa lalulah yang mengharuskan aku untuk mengingatnya. Agar aku tahu diri. Jika dunia tak begitu baik, jika dunia tak selamanya indah, dan tak selamnya orang-orang yang berada di sekitar ku mampu menerima apa yang menjadi kekurangan dan kelebihanku.

“Hingga malam berganti siang, dan udara berubah panas dari dingin, hingga air laut yang asin berubah menjadi tawar. Meski kita tak menikah dan menjadi suami isteri, meski kau memilih yang lain. Aku yakin bintang tak akan mengkhianati malam, dan mendustai bulan. Jika memang kau yakin padaku. Tolong jangan dengarkan apa yang orang lain katakan! Dengarkan apa yang aku katakan dan dengarkan apa yang hatimu katakan!”

Jemarinya turun lagi, ku rengkuh kehangatan yang bahkan slalu kurindukan setiap saat meski selalu bersama.

“Tidakkah hujan tak pernah berbohong pada langit mendung? Dan lebah slalu setia pada bunga? Aku pun begitu. Seperti yang kau katakan. Meski ini sulit dan membuatku ingin mati. Aku akan mencoba mendengarkan apa yang hati aku katakan, dan apa yang kau katakan.”

Rambutnya tertiup angin dengan keindahan yang sempurna. Dua tahun berlalu begitu cepat hingga aku tak tahu jika kami akhirnya berpisah saat duduk di kelas dua sekolah menengah.

Kami memang bersama dalam satu sekolah namun, kami tak bisa bicara seperti dulu. Bahkan kerinduan yang kini menebal dengan surutnya air mata yang tak kunjung lelah menjamah pipiku tiap malam. Membuatku slalu mengingat apa yang ia katakan tiga tahun yang lalu.

“Bagaimana mungkin dia bisa ingat? Janji anak kecil usia tiga belas tahun yang bahkan akan cepat di lupakan. Kau!!! Ya kau!!! Bahkan kau slalu membuatku gila meski kita saling bersama. Tidak bisakah kau membiarkanku berbicara barang sedetik saja? Aku hampir gila karena merindukanmu.”

Desah bercampur deru menghiasi kamar yang di tata rapih. Cahaya lampu kekuningan memancar dari ujung kamar dengan pola berkurung bunga.

Aku lebih menyukai panti asuhan jika akhirnya seperti ini. Meski kini aku memiliki ayah dan ibu. Aku juga memiliki kakak laki-laki yang sangat baik dan keluarga yang kaya. Tapi kehilangan mu yang dulu membuatku merasa lebih buruk dari pada sebelumnya.

***

Entah apa yang membawakaku berjalan hingga sejauh ini. Menuju gang sempit dengan dua bok kayu di sisi kanan dan kiri. Bahkan kucing pun sulit untuk masuk ke sana. Namun mata sayuku tetap saja tak ingin beranjak melihat satu buah pintu dengan cat metalik di ujung sana. Nyawaku hampir terbang, ruhku hampir saja kejut cepat. Saat suara geretakan kecil dari lampu jalan berbunyi mengeluarkan cahaya. Malam pun datang dan aku masih berdiri di posisi yang sama. Melihat satu pintu yang bahkan tak pernah membuatku lelah untuk melihatnya.
Pukul Sembilan malam. Masih dengan seragam sekolah berrok kotak-kotak. Beberapa orang keluar dari pintu itu.

Dua pria paruh baya berjalan menujuku dengan rambut setengah beruban. Sementara satunya lagi, ia sibuk mengisap rokok yang tinggal dua senti saja. Hentakan kaki mereka terdengar sangat berat, dan yang aku tunggu pun datang. Pria itu, keluar dengan celemek plastik berwarna kuning. Tangannya masih kekar. Lim An, cinta pertamaku dan masih menjadi pengisi hatiku. Wajahnya terlihat begitu lelah. Mulutku mulai terbuka. Suara yang tertahan hingga hanya nafas yang terdengar.

“Apa kau lelah? Bagaimana jika hari ini kita pergi jalan?”

Suara manja dari bibir wanita bertubuh langsing dengan rambut panjang itu membuatku bergidik. Sentuhan yang dia lakukan bahkan mulai membakar amarahku. Tangan kecil ini mengepal dengan muka memerah.

“Baiklah. Bagaimana jika kita pergi ke taman dekat sungai? Temanku bilang aka nada pesta kembang api di sana.”

Lim An. Pria menyebalkan itu. Apa dia benar-benar berbicara seperti itu? Bahkan aku belum pernah pergi melihat pertunjukan kembang api dengannya sebelumnya. Dan kali ini dia mengajak wanita lain? Aku sudah sangat tak tahan. Kakiku berjalan cepat. Lim An yang membuka celemeknya. Beranjak pergi dengan teman wanitanya. Ia masih saja berbincang dan apa yang terjadi? Saat aku berjalan menghampirinya, ia berjalan maju tanpa menghiraukan keberadaanku.

Cukup lama setelah dia tak menghiraukanku. Aku membalikan badanku.

“LIM AN… Ya!! Kau LIM AN… aku benci padamu! Aku sangat benci padamu! Jangan pernah muncul lagi di hadapanku! Jangan pernah memintaku untuk kembali padamu! Meski kau sangat menginginkannya aku tidak akan melakukannya! Dengarkan itu Lim An!!!”

Dengan emosi yang bercampur air mata. Aku menangis sekencang-kencangnya hingga aku tak peduli orang berkata apa, aku tak peduli bagaimana orang melihatnya. Namun hatiku benar-benar sangat sakit.

***

Lampu kerlap-kerlip yang bergelantungan di tiap ujung dahan yang menjorok ke jalan raya terlihat sangat indah. Langkah sepasang pria dan wanita ini, terlihat sangat serasi. Mereka menghabiskan malam dengan berjalan menelusuri kegelapan yang terang. Hingga langit hitam berubah indah dengan jentikan-jentikan kembang api yang meledak di angkasa. Senyum merekah dari keduanya tak pernah habis. Tangan wanita itu menerawang awan, menunjuk salah satu bentuk kembang api yang cantik dengan warna merah bercampur biru.

“Apa kau menyukai itu?”

“Ya… itu sangat cantik.”

“Benarkah?”

“Iya” Angguk Lim tanpa melihat wajah teman wanitanya. Tanpa di duga wanita itu mengecup pipi Lim.
Wajah Lim memerah cepat. Kepalanya menoleh dengan raut muka terkejut.

“Apakah kau menyukaiku?” Tanya wanita itu padanya.

Lim hanya bisa diam. Ingatannya menyeruak dalam pertanyaan wanita berparas cantik tersebut. Empat tahun yang lalu, dia pernah datang ke sini dengan wanita kecil bermata bulat. Kulitnya yang sedikit coklat dengan rambut kecoklatan. Ia bermain bersama dalam hamparan rumput kala senja.

“Lim.. kau kenapa?”

Lim terperanjat. “Apa kau baik-baik saja?”

“Sepertinya aku kurang enak badan. Bagaimana jika kita pulang.” Sahutnya pelan dengan tatapan kosong.

Wanita itu membopong Lim, dan mengantarnya hingga subway.

“Pulanglah! Aku akan baik-baik saja setelah sampai rumah.”

“Baiklah. Jika kau masih sakit. Besok jangan dulu sekolah. Aku akan memberitahu guru jika kau sakit.”
Lim hanya mengangguk.

Pintu subway tertutup setelah serine berbunyi. Kakinya beranjak menuju kursi kosong di sebelah kanan. Pikirannya kacau. Ia tak bisa menahan pilu di hatinya. Tawa renyahnya tadi hanya bualan belaka. Bak actor penerima piala Oscar, dia mampu berpura-bura dengan sangat baik.

Tangannya tergeletak lemas di atas kursi.

“Maafkan aku.. Maafkan Ku Eun. Aku tak bisa menjadi Lim An yang dulu. Kau tahu kini kita berbeda. Meski aku masih mengingat kata-kataku, meski aku masih ingin bersamamu, namun inilah takdir. Terima kasih masih bertahan untukku.” 

***

Bangku sekolah menengah berlalu, dengan kenangan yang bahkan sangat menyakitkan untukku. Lelah menunggu demi seseorang yang bahkan aku tak tahu kapan ia akan kembali dan apakah memang akan kembali atau tidak. Hingga akhirnya aku mengambil keputusan untuk pergi ke Prancis, melanjutkan studiku di sana.

Belakangan aku memang sangat menyukai fashion. Melihat beragam busana bahakan bisa membuat stresku berkurang. Seperti zamzam yang keluar dari kekeringan hatiku. Menggambar berbagai model baju adalah setengah nyawa dari hidupku, seperempat dari nafas yang setengahnya aku sumbangkan untuk menunggu Lim. Tapi kini tak ada gunanya lagi. Burung besar ini telah menghantarkan aku jauh melewati benua, dengan orang-orang baru dan bahkan aku berharap bisa mendapatkan cerita baru guna menghapus lukaku, meskipun aku tak yakin bisa.

***

Lim An, pria pekerja keras ini ternyata juga memendam semangat hidup yang sangat besar. Jika Eun pergi menuju Prancis untuk mengubah rasa sakitnya. Lim, dia membanting tulang, menggadaikan rasa malunya, mencuci setiap air mata dan keringatnya, hingga tiga tahun berselang, Lim tumbuh menjadi pria dewasa yang sangat mempesona. Tidak hanya tampan, dia juga kaya. Meski ia tak memiliki keluarga yang bisa di banggakan namun di dalam hatinya ada satu nama yang akan tetap ada meski kini ia tidak bersamanya, di sampingnya.

“Tuan Lim, Ada investor asing yang ingin bertemu dengan anda. Ia ingin bekerjasama dengan periklanan kita untuk memasarkan produk fashionnya.” Ujar sekertaris berok span bergaris dengan blazer berwarna coklat.

“Jam berapa?” tanyanya dengan kepala yang masih tertunduk melihat beberapa lembar kertas berisi kontrak kerja dengan beberapa pihak.

“Pukul dua siang, di hotel Milton star.”

“Siapkan mobil! Aku akan segera pergi.” Perintahnya sambil menutup map hitam dengan lapisan almunium keemasan di tiap ujungnya.

“Baik.”

Wanita itu keluar dengan cepat. Pintu dengan dua pegangan panjang itu di tatap Lim. Nafasnya naik turun lambat. Menahannya kemudian di keluarkan cepat. Mata kecilnya, menutup sekilas. Ponsel berukuran besarnya berdering. Satu pesan masuk dengan nama Kim Sora terbuka otomatis. Matanya beranjak menuju  ponsel yang ia simpan di samping kanannya.

“Aku merindukanmu. Aku tunggu kau malam ini pukul tujuh di cafeteria biasa. Aku mencintaimu.”

Wanita itu Kim Sora. Wanita berambut panjang yang datang menemui Lim An saat malam hari. Wanita yang di ajak Lim pergi melihat kembang api di dekat sungai. Dia masih saja begitu. Mengatakan semua hal yang ia ingin katakan dan melakukan banyak hal sesuka hatinya.
Lim tak membalas pesan Sora. Bahkan ia meninggalkan ponselnya di meja kerjanya dan bergegas pergi menemui rekan bisnisnya.

***

Ini adalah hari pertama setelah tiga tahun aku meninggalkan negeri ini. Udara yang sangat aku rindukan. Kenangan yang sangat aku rindukan, air mata, rasa kesepian, tawa, sakit, dan aku juga sangat merindukkan kakak, ayah, dan ibu.

Namun langkahku harus terhenti di bandara. Ada hal yang harus aku selesaikan sebelum aku pergi ke rumah dan tdur di kamarku.

Aku berjalan menuju lift, dan menekan angkat tiga. Sebuah hotel ternama ada di sana. Masih di kawasan bandara yang luasnya hampir 100 Hektar. Hilton Star. Dia pergi menuju lobi, dan menyanyakan pesanan meja untuk pertemuan pukul dua.

Petugas wanita dengan rambut di ikat itu menunjukan tempat yang di maksud. Seseorang yang akan di temuiku ternyata sudah datang. Presdir perusahan periklanan ternama di sini. Aku mengucapkan salam dan meminta maaf karena datang dengan membawa koper besar.

Presdir itu masih duduk dan membelakangiku. Namun saat aku menundukkan kepalaku, ia sudah berdiri di depanku. Kepalaku mendongak. Seperti halilintar yang menyambar cepat tubuhku. Bulu kudukku berdiri semua. Mataku membulat seperti melihat hantu di siang bolong. Bibirku kaku cepat, dengan tubuh yang tiba-tiba berubah dingin.

“Senang bisa bertemu dengan anda.”

Apa yang dia lakukan? Apa dia memang tak ingat siapa aku? Ataukah dia hanya berpura-pura tak mengetahui siapa aku? Namun aku berusaha untuk mencairkan suasana. Aku kembali membukukkan kepalaku.

“Senang bisa bertemu dengan anda.” Timpaku dengan suara parau.

Kami berbicang berdua dengan map yang kubawa, dan dia membicarakan banyak hal mengenai pembagian royalty, dan cara kerja mereka. Setelah satu jam berdiskusi akhirnya kontrak pun ditandatanganinya. Tinta dengan pena mahal itu menggores kertas yang ku sodorkan dengan tangan bergetar.

Satu, dua, tiga, coretan berakhir dengan satu titik di ujung kanan.

“Jangan merasa canggung denganku!”

Aku terkejut dengan ucapannya. Aku pikir dia sudah melupakanku.

“Bagaimana kabarmu?” sahutku dengan terbata-bata, dan rasa malu.

“Seperti yang kau lihat. Aku baik-baik saja. Aku dengar kau mendapatkan kehormatan untuk menjadi direktur utama dari perusahaan fashion Paris di sini. Selamat!”

“Terima kasih.”

Aku tak bisa berkata apapun lagi. Aku benar-benar kehabisan kata-kata. Meski aku sangat ingin berbicara banyak dengannya, menyentuh tangannya dan melepas rinduku padanya. Namun aku pikir ini bukanlah waktu yang tepat. Ku lihat dia telah berubah menjadi orang yang sukses. Mana mungkin dia masih sendiri dan masih menungguku yang bahkan tak banyak berubah cantik. Ah ya.. wanita itu, mungkin saja dia telah menikah dengannya.

Aku mengambil nafas panjang. “Terima kasih atas kerjasamanya. Saya harap kita bisa bekerja sama lebih sering. Saya minta maaf karena harus pegi lebih dulu.”
Dia tak membalas perkataanku. Aku bangkit dari tempat dudukku. Membukukan kepala dan meninggalkan ruangan itu. Namun langkahku terhenti saat tanganku hampir menyentuh pegangan pintu berukuran besar.
Dua tangan kekar itu merengkuhku dari belakang. Nafasku berhenti. Suhu tubuhku meningkat. Hangat.

“Biarkan aku memelukmu sebentar saja!”

Aku hanya diam.

***

Setelah kejadian itu kami mulai kembali dekat dan sering pegi bersama. Dia terihat jauh lebih manja di bandingkan Lim An kecil yang aku kenal dulu. Saat pagi buta dia slalu merengek minta di bangunkan, atau sekedar menuangkan air putih untuknya. Meski kami tidak tinggal bersama. Aku slalu pulang ke rumah Lim dulu. 
Menyiapkan air panas untuk dia mandi, makan malam sederhana yang aku pelajari selama di paris, dan segelas air mineral yang aku simpan di meja persegi dekat ranjangnya.

Hingga pada suatu malam, aku datang lebih cepat dari biasa. Meja makan yang berantakan bekas sarapan dengan susu segar yang tinggal setengah. Roti bakar yang meninggalkan aroma gosong di ujung piring putih berpolet warna emas.

“Dasar pria manja! Hehe… jika aku menikah denganmu, kau tak perlu seperti ini setiap pagi. Lihat ini! Bahkan baju kusutmu masih menumpuk. Apakah kau masih sangat pelit dengan uangmu? Mengapa tidak pergi ke laundry? Itu akan sangat efektif untuk pria sibuk sepertimu.”

Aku tak berhenti bergerutu. Tanganku sibuk mencuci piring. Hingga desisan minyak yang menumis potongan wortel, brokoli dan kapri mendesis kecil dari atas wajan. Tangan basahku ku usapkan pada celemek berwarna pink muda. Aku tak tahu sejak kapan celemek ini ada, namun celemek ini terlihat baru. Dan ada dua di laci sana. Aku pikir ia membeli celemek couple.

Daging panggang dengan saus pedas. Aku membuat masakan yang memang ia sukai. Pria bermata kecil yang suka pedas, dan aku sangat suka melihat wajahnya yang menahan pedas. Mata yang terlihat menghilang dengan bibir menyeringai. Ponselku berbunyi saat menaruh beberapa piring ke atas meja makan. Nomor siapa ini? Aku mengangkatnya.

***

Tubuhku ambruk setelah melihat Lim terbujur kaku di atas blangkar. Wajahnya terlihat sangat pucat, dan bibir pink mudanya berubah membiru beku. Tanganku menyentuh tangan pucatnya yang sangat dingin. Ku kecup kening, hingga bibirnya, tangan yang tak pernah lepas ku genggam hingga petugas rumah sakit menarik paksaku dan membiarkan aku duduk di ruang tunggu.

Pria yang aku cintai, yang kembali setelah sekian lama, namun mengapa takdir tak bisa membawa kami pada bagian yang sempurna. Aku menahan suara tangisku yang terganjal di kerongkongan menyumbat pernafasanku, dan tanpa aku sadari aku tumbang dan di rawat di rumah sakit selama tiga hari.

Kecelakaan itu membuatu takut untuk pergi menggunakan mobil. Bahkan bagiku mobil adalah bagian yang paling mengerikan di dunia ini. Benda yang bahkan telah sangat berani membawa priaku pergi untuk selama-lamanya.

***

Hiduplah dengan cinta seperti bunga lotus! Yang mati dan layu kemudian tumbuh dari tunas, dan jiwa yang sama. Seperti halnya aku, yang akan mati dan kemudian masih akan tetap mencintaimu dari sisa tunas dan jiwa yang sama kemudian akan hidup kembali pada waktu yang berbeda.” (pesan dari Lim sebelum terjadi kecelakaan).

Andai kau tahu setiap hari aku berharap jika udara ini adalah prisai yang bisa membawaku pada dua kemungkinan, mati dan pergi bersamanya. Atau mengubah pikiranku kemudian hidup dengan hal yang baru..

Hentakan angin yang kadang terasa besar membuatku terjatuh dan duduk di atas tanah dekat pohon yang memberikanku banyak kenangan yang kini hanya tersisa dalam memori ingataku saja. Hanya milikiku seorang dan tak akan pernah ada orang yang tahu dan mengerti seperti apa rasanya.

-Tamat-

story by dinie
naskah asli dinie
don't copy please!
thank you ^^