Tulisan ini dibuat dalam rangka mengikuti Lomba Menulis yang diadakan Penerbit Haru. Info:
penerbitharu.wordpress.com
Dengan rasa penuh kegelisahaan Kim
so ah duduk di bangku taman kota. Dia menundukan kepala sambil menyeka air
matanya. “Tidakkah hidup ini adil? Tapi mengapa aku selalu menangis? Aku ingin
tersenyum tapi hatiku tak mau mendengar apa yang aku inginkan.” Kakinya tak
berhenti bergetar dengan bibir membeku, musim dingin datang dengan hujan salju yang turun
membuatnya semakin menebal terhampar di bagian atas tanah.
Angin tetap bertiup meski So ah tak
menginginkannya. Nafasnya sesak, membuatnya menepuk dada. Jeo Jeong menatapnya
dari tepi jalan. Matanya menatap lekat hingga tak berkedip sedikit pun. Hatinya
tak berdegup, wajahnya pucat pasi. Dia mengenakan mantel tebal dengan sepatu
boot berwarna coklat. Tangannya mengepal. Hembus nafasnya gaib. Bibir biru
hampir beku itu melontarkan satu kata. “Bodoh.”
Mereka tetap berdiri dan duduk di
tempat yang sama.
So ah meremas amplop coklat berisi
naskah berjudul “ Alone In Other Land”. Matanya menutup dengan air mata yang
semakin deras mengalir. Ingatannya membuncah dengan penyesalan yang kini kian
meronta dalam jiwanya.
“Jika naskah ini sampai dijadikan sebuah film. Kau harus meminta
pada sutradara untuk menjadi pemeran utamanya.” Jeo Jeong menepuk pundak So ah.
Senyumnya merekah.
“Tidak, aku tidak mau. Aku tidak berbakat berakting, lagi
pula aku tidak cantik.” Dia menolaknya. So ah membulatkan matanya, namun Jeo
Jeong tetap tersenyum. “Jika aku tidak melakukannya memang kenapa?” Lanjutnya
dengan suara pelan dan wajah penasaran.
“Tidak apa-apa, aku hanya ingin jika orang yang aku tulis
benar-benar berada dalam film itu.” So ah terperanjat. Dia kehabisan
kata-kata.
“Apa.. Apa kau menyukaiku?” suaranya terbata-bata.
“Aku sudah mengatakannya tadi.” Mereka terdiam. “Jangan
selalu bersikap jika kau baik-baik saja. Jika aku tidak bersamamu lagi apa yang
akan kau lakukan? Kau tidak boleh menangis lagi!” Jeo Jeong melepaskan
sentuhannya.
“Apa yang kau katakan? Kau tidak akan pergi kemana pun kan?
Dasar bodoh!”
“Hahahha… ya bodoh aku tidak akan pergi kemana-mana, aku
hanya mengkhawatirkanmu saja.”
Keesokan harinya. Sesaat setelah menandatangani surat kontrak kerja
untuk pembuatan film dari naskah yang dia buat.Jeo Jeong
tiba-tiba saja jatuh pingsan. Dia meniggal di tempat
karena terkena serangan jantung. Kejadian itu sontak mengguncang So ah. Dia tak
mau bicara pada siapapun, bahkan dia melarikan diri dan pergi ke sebuah desa
kecil Jangho di provinsi Gangwonselama dua tahun.
Saat malam menyambut, dia bermimpi Jeo
Jeong datang dan memeluk tubuhnya. “Kenapa kau sangat dingin?”
“Tapi kau hangat.” Jeo jong, pria
tampan itu masih saja tersenyum.
“Bisakah kau tetap bersamaku? Aku takut
sendirian. Jeo jeong oppa mianhaeyo.” Tangisnya tumpah.
“Berhentilah menghindar dariku. Kau
tahu aku bisa memelukmu? Kau harus hidup dengan baik!”
“Kita belum sempat berkencan.” Ujarnya
pelan sambil terus merengkuh jasad yang hilang di telan malam.
“Kita akan melakukannya nanti.”
“Kapan?” Mata So ah terbuka. Dia
bangkit dari tidurnya.Tak ada siapapun di sampingnya, bahkan suasana kamarnya amat sunyi. “Oppa… Jeo Jeong Oppa…. BODOH!! PRIA
BODOH!!!Aaaahhhhhrgghhh…..” dia menjerit, tangisannya semakin hebat.
Lembar-lembar naskah yang lusuh itu
di angkat ke atas pangkuannya. So ah segera merapihkannya. Rambut sebahunya
kini tersibak angin. “Aku akan melakukannya. Tidakkah kau ingin mengatakan itu?
Baiklah.. kau berjanji untuk pergi berkencan bersamaku setelah ini bukan? Katakan
sekarang sebelum aku berubah pikiran!” So ah berlari menuju sebuah gedung rumah
produksi di kawasan gangnam.
‘Cinta, mimpi, penyesalan, janji,
bukan demi kau atau aku, tapi ini demi kita. Aku akan memulainya kembali dan
lihatlah sebentar lagi! Kau harus menepati janjimu! Meski janji itu akan kau
tepati saat kita di dunia yang sama. Untuk belahan hatiku, pria bodoh Jeo
Jeong.’