Second Love 2
Main casts: Lee Min
ho
Koo hye sun
Genre: Romantic
Rate: -----
Page: -----
Author: Dinie Isnaeni
Pertemuan itu membuatku membuka mata akan dunia yang sangat
indah. Lekas ku buka kaca mata yang ku pakai seusai membaca sebuah buku novel
romatis dari pengarang terkenal dari kota Paris. Bibirku menyeruak dalam malam
yang dingin. Ku jentikan jariku, pikiranku buyar, imajiku bermain mesra seolah
aku berperan dalam sandiwara sebuah pementasan opera. Pria bule bernama Smith
itu ku bayangkan adalah pengacara lee yang sama gagahnya, dan aku adalah Kytie
wanita anggun dari kalangan bangsawan yang menanti cinta keduanya. Cerita itu
belum usai. Ponselku menjerit. Membuatku tersentak. Ku lihat nama di layar
cukup lebar itu. “Pengacara Lee.” Sahutku. Refleks tangan kiriku menarik poni
rambut ke samping. Bodoh, apa yang aku lakukan? Bahkan tuan Lee tak ada di
sini.
“Apa kau sudah membaca buku dariku?” Tanyanya dari balik
telepon.
Aku mengangguk tak besuara. Senyum dengan pipi merah ranum
ini menjawab secara gamblang jika aku benar-benar tengah jatuh cinta.
Perjalanan yang sangat mendebarkan pekan lalu membuatku
berjalan satu langkah. Ku lupakan semua kenangan buruk yang tlah kualami saat
bersama suami terdahuluku yang sangat kurang ajar. Tuan lee adalah malaikat
tanpa sayap yang tuhan berikan padaku. Dia membuatku sangat nyaman meski umurku
jauh lebih tua darinya.
Pria tinggi itu membuatku semakin mabuk. Pria romantic yang
sangat tak aku duga….
Telepon itu kemudian terputus tanpa sebab.. Ku lihat batrei
ponselku dan apa yang terjadi? Tak ada masalah. Batreinya masih penuh.
Jantungku berdegup kencang. Ku beralih pada sebuah telepon book. Ku tulis nomor kantor dimana Lee bekerja. Ku coba menekan delapan
nomor itu dengan cepat. Namun tak ada jawaban. Aku hampir putus asa. Ku raih mantel bulu pemeberian
sodaraku dan berlari menuju halte. Aku yakin jika Lee ada di kantor.
Lima belas menit berselang aku sampai di kator pengacara
dimana lee bekerja. Aku pernah ke sini satu kali dan aku masih ingat persis
dimana ruangan lee. Bunyi detak jarum jam yang semakin kuat membuat bulu
kudukku berdiri cepat. Menoleh ke kanan dan kiri. Lorong yang hidup hanya dengan
lampu yang menyala sepanjang koridor yang sangat sepi, pukul 12.55 malam.
“Brukkk…” aku terdiam. Saat suara aneh terdengar keras
memantul hingga masuk rongga telinga.
“Tenang” ucapku
pelan. Langkahku tak berhenti sampai di situ. Ku menerka sebuah jalan
persimpangan dimana sebuah lift berada persis di depanku. Lampu panah lift itu
menyala.
“Seseorang tengah turun dari lantai 6? Ya.” Sahutku dengan
tatapan membidik.
“Binggo!” Suara lift terdengar akan terbuka. Seorang pria
mabuk berada di dalamnya. Kemeja yang sudah tak di kancingi dengan dasi melorot
yang sudah tak berwujud. Wajah lesu dengan mata merah. Dia menatapku. Aku
mundur satu, dua, tiga, langkah, dan nafasku hampir putus saat pria itu
menyentuh tanganku. Dingin. Mengapa tangan pria ini sangat dingin?
“Apa kau datang untuk menjemputku?”
“Apa?” tanyaku dengan suara gemetar.
Pria paruh baya itu menelisik wajahku, satu menit berdiri
kaku rasanya seperti mati suri. Matanya membulat tiba-tiba. Dia mendorong
sambil menarik baju ku.
“Lepas!! Lepaskan aku!” sontak aku menjerit dan mendorong
pria tersebut sekuat tenaga. Saat tanganku tak mampu mendorongnya, kakiku dengan
agresif juga ikut menendang perutnya. Hingga dia terpental beberapa senti
meter.
“Kau pembunuh!” Dia terus berbicara seperti itu. Aku mundur
dengan posisi duduk. Tanganku menopang kuat agar aku bias segera kabur dari
tempat yang mengerikan ini.
“Jangan!! Jangan!! Aku mohon jangan!!” mataku menutup dengan
jeritan keras dan tangan yang menyilang di bagian dada.
“Nona… apa yang kau lakukan? Nona? Nona?”
Aku tetap menjerit dengan
mata menutup saat sebuah tangan menyentuh bahuku.
“Jangan!!!!”
“Nona!! Bangun!!”
Pria bertopi di hadapanku membuatku kaget. Dia membawa
senter dan tongkat pemukul.
“Apa yang anda lakukan tengah malam di sini?”
Dengan wajah memerah aku menyembunyikan rasa malu ku dan
bangun dengan tangan membersihkan rok yang kotor menyentuh ubin.
“Aku sedang mencari pengacara Lee. Apa kau melihatnya?”
“Tuan Lee?”
Aku mengangguk. Rasa Maluku di buat kebal cepat. Satpam itu
membuatku bisu sekejap.
“Ah tuan Lee. Aku melihatnya ada di lantai paling atas. Apa
kau mau aku antar?”
“Ah ya.. tentu jika anda tidak keberatan.”
“Tentu saja tidak.”
Dia bicara banyak padaku, bahkan dia menanyakan masalah
tadi. Aku hanya bias tersenyum dan menjawab, mungkin aku hanya sedang
berhalusinasi karena tak cukup tidur. Tapi apa yang kemudian dia katakan?
“Apa kau benar-benar merasa pria itu sangat dingin?”
Sontak aku terkejut dan mengangguk.
“Aku juga pernah merasakannya.”
“Benarkah?” Antusiasku bangkit.
“Ya, sekitar satu minggu yang lalu. Apa dia juga keluar dari
lantai enam?”
“Iya benar. Kau berbohong kan?”
“Aku tidak berbohong.”
Ku lihat jika tombol lift di dalam tak menyertakan angka
enam di dalamnya.
“Kenapa tidak ada lantai enam?” tanyaku penasaran pada pria
bertopi itu.
“Ah itu.. karena lantai enam berarti ujung dari gedung ini.”
“Maksudmu tak ada lantai enam di gedung ini?”
“Iya..”
“Jadi, apakah yang aku temui itu hantu?”
“Shutttttt…. Jangan bicara aneh-aneh!”
Aku diam dan menelan ludah. Bodohnya aku berani datang
kemari hanya karena seorang pria. Pengacara lee kau benar-bear sudah membuatku
ediot dengan datang ke sini pada waktu yang tak logis.
“Kita sudah sampai?”
Aku menaiki anak tangga untuk sampai ke lantai paling atas
yang di sebutnya lantai enam. Pria itu terus saja bicara sampai membuatku
hampir gila. Kata-kata yang di buatnya membuat bulu kudukku lagi-lagi berdiri.
Lee.. apa yang kau lakukan di atas sana? Apa akau ingin
mati? Atau kau ingin membuatku mati? Ku raih tangan kiriku untuk ku dekap, karena
rasa dingin itu semakin kuat menusuk hingga tulang.
Pintu menuju lantai paling atas terbuka… berderittt…
Ku lihat ke berbagai tempat tapi tempat itu terlihat sangat
luas dan tak ada siapapun.
“Kau bilang pengacara Lee ada di sini? Kenapa tidak ada?”
kemudian aku menoleh ke samping namun apa yang terjadi? Satpam bertopi itu
menghilang.
“Pak!! Pak!! Kau dimana?” Sungguh aku sangat ketakutan.
Sebuah tangan yang cukup besar menepuk pundakku. Membekap mulutku, dan sebuah
penutup mata membuatku tak melihat apa-apa.
“Kau hanya perlu diam!”
Aku mengangguk sudi, karena aku tak ingin mati di sini.
Kemudian aku mendengar beberapa suara yang tak mampu ku terka sedikitpun.
Angin malam yang berhembus kencang membuat pendengaranku
buyar, samar ku lihat sebuah cahaya, saat orang itu membuka tutup mata yang
membelit ku hingga aku tak mampu melihat dengan jelas.
Lampu warna warni berkelip, indah menghias malam yang sangat
mendebarkan untukku. Aku tengah duduk di kursi berwarna putih dengan minuman
anggur dari prancis yang sangat mahal dan dua piring steak dengan saus lezat di
hiasi buah tomat ceri di atasnya.
Alunan music kalis nan romantic menganlun cantik membelah
malam mencekam yang mengantar seorang pria tampan dengan taksedo berwarna hitam
dan kemeja putih yang rapih. Bahkan aroma parfum itu sangat menusuk hingga indra
penciumanku.
Pengacara lee dia membuatku benar-benar seperti ada dalam
sebuah novel yang aku baca tadi. Aku tak sadar dengan semua kejadian itu. Smith
gadungan yang bodoh. Dia hampir membuatku gila malam ini.
Tangannya meraih tangan kiriku. Kotak kecil berwarna merah
marun dengan hiasan pita keemasan. Dia bukanya perlahan. Cincin dengan makhota
berlian bertengger gagah di dalamnya.
“Maaf sudah membuatmu seperti ini. Apa kau merasa senang?”
Aku sangat marah padanya. Namun melihatnya seperti ini
membuatku luluh dan hanya mampu mengguk.
“Lantai enam, di pertemuan ke enam kalinya dengan mu, di
tanggal ke enam di bulan ke enam.. aku berpikir untuk melamarmu pada pukul
enam, namun aku tidak bisa karena ada hal yang harus aku persiapkan. Demi malam
yang rela menunggu, dengan deru angin yang sangat sejuk mengantarkanmu padaku
meski rasa takut mendera batinmu. Setulus hati aku memohon padamu, maukah kau
menikah denganku?”
Belum sempat aku membuang nafas, aku langsung berkata.
“Ya,aku bersedia menikah denganmu.”
Sorak sorai tiba-tiba terdengar dari balik keheningan yang
seketika hilang. Semua staf kantor ternyata hadir di tempat ini sejak tadi.
Pria yang seperti hantu itu tenyata teman lee. Ketua pengacara di sini.
“Akting mu sangat bagus.” Sahutku sabil tersenyum malu.
“Lee kau harus hati-hati padanya!”
“Kenapa memang?” Lee terlihat penasaran, kemudian dia
melihat ke arahku.
“Tendangannya sangat kuat hahaha”
Pria pertopi, satpam kantor datang menghampiriku dengan
seikat bunga mawar.
“Maaf sudah membuatmu ketakutan. Aku hanya berohong tadi..
maafkan aku!”
“Kau benar-benar membuatku takut. Lain kali aku yang akan
menakutimu pak! Hahaha..”
Kami menikmati makan bersama, dengan suara music yang terus
menghentakkan malam.
------Tamattttt----
Seperti sebelumnya.. ff ini akan di lanjutkan apabila ada
permintaan.. so!! Aku tunggu komentar kalian ya. Big thx buat yang sudah baca.
Buat yang udah baca tp ga bisa isi kotak komentar di blog, anda bisa memberikan
kritik dan sarannya melalui akun twitter sy di @dinieisna atau kirim lewat
inbox facebook di Dinie Isnaeni >> bisa di lihat di kotak my account
untuk link lbh jelasnya.
Thx you so much semua!! (^_^)/